“Ibu Bumi” mendapatkan Piala Citra, film pendek dokumenter terbaik FFI 2020

Bersyukur sekali, Film Ibu Bumi (Mother Earth) mendapatkan penghargaan Piala Citra sebagai film dokumenter terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) ke-40 tahun 2020. Terima kasih untuk semua pihak yang telah dan selalu mendukung perjalanan film Ibu Bumi. Penghargaan ini kami dedikasikan untuk seluruh warga di Pegunungan Kendeng yang tak pernah lelah berjuang.

Tim kami, produser (Wini Angraeni) dan Director of Photography/Pengarah Sinematografi (Muhammad Arif) menerima Piala Citra di Malam Anugerah Festival Film Indonesia 2020, di Plenary Hall, Jakarta Convention Center.

Berani Bicara

Klien: Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI

Tim Sedap Films:

Produser: Wini Angraeni | Sutradara: Chairun Nissa (Ilun)

Pengarah Sinematografi (DoP): Muhammad Arif | Penulis Skenario: Indah Septi Elliyani & Chairun Nissa

Editor Offline & Online: Panji Pamikat

Penata Artistik: Djati Hendrianto | Make Up & Wardrobe: Salsabila Jawahir & Clara Jovita

Perekam Suara: Hasanudin | Penata Suara: Wiansa Dewata

Komposer Musik: Rikat Parikesit | Line Produser: Aditya Alfiqry

Testimoni Film Ibu Bumi

 

Film ini menghentak kesadaran kita bahwa perlawanan terhadap keangkuhan, kepongahan, dan kesewenang-wenangan oligarki tak melulu dilakoni dengan kekerasaan. Ada jalan lain yang damai dan lembut, namun tak kalah menohok. Sang tokoh utama memilih jalan itu; lewat musik, seni, dan suara alam desanya, ia menunjukkan ketegasan sikap para petani Kendeng yang tak mudah takluk pada penindasan.”  [Chairul Akhmad – Jurnalis CNN Indonesia TV]

 

“The love story of a man who plays music to defend his love is very common. But when what he loves is not a beautiful girl, but the mother earth, our source of life, then this film is very important to watch.”  [Deny Setiawan “Dentje” – Sutradara Iklan]

 

“Sebuah kontradiktif: berkali-kali pemerintah bercerita soal ketahanan pangan. Tetapi di lapangan, petani terus mendapat tekanan. Bagus adalah kita semua. Kita juga harus kritis melihat penghancuran lingkungan yang terjadi secara masif dan terstruktur. Kita juga harus melawan seperti Bagus dan kawan-kawan.”  [Ressi Dwiana – Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia]

 

“Jujur pas ending-nya aku terharu… bahagia, lega, lihat ada anak muda tinggal di desa, mau jadi petani (‘gak cari duit ke kota), peduli sama lingkungannya, dan berbuat sesuatu yang nyata untuk memperbaiki nasib anak cucunya. Hari gini anak model gini udah langka sekali. Keren deh si Gus ini!”  [Mila K. Kamil – Writer, Volunteer For The Blind, dan Impact Producer Film Aim For The Stars]

 

“Film Ibu Bumi saya ibaratkan sebagai lonceng peringatan bagi kita masyarakat Indonesia yang hidup di bawah hegemoni kapitalisme. Tanpa sadar kita telah membiarkan ekonomi pasar menjadi prinsip tunggal pengatur tatanan kehidupan ekonomi kita. Film ini menjadi sebuah gerakan antitesis dari cara pikir eksploitatif terhadap alam demi ekonomi dengan tanpa memedulikan ekosistem lingkungan hidup.”  [Dandy Koswara – Kepala Kantor Berita Anadolu Agency Indonesia]

 

“Filmnya sederhana, mengulas kegelisahan tokoh muda dari desa yang tersadarkan untuk melindungi bumi dengan mengajak masyarakat untuk ikut tersadarkan lewat musik. Sederhana namun memikat. Mantap.”  [Anwar Sadat – Ketua Ikatan Alumni Manajemen (IAM) FE USU]

 

“Film yang membuka mata, menjadi semakin nyata kalau masalah yang ada di Kendeng bersifat holistik dan perlu menjadi perhatian semua pihak. Ibu Bumi mendidik kita untuk melihat suatu masalah menggunakan sudut pandang lebih menyeluruh dengan perspektif yang lebih tepat: keberpihakan.”  [Nico Gamalliel – Organis, Koordinator Sospol BEM FKUI 2019]

 

“Film Ibu Bumi adalah film yang kontemplatif, membangun kesadaran kepada penganut kapitalisme yang rakus tapi ‘ndak pernah mau sadar.”  [Daniel Rudi Haryanto – Sutradara]

 

“Mengambil sudut pandang anak muda yang penuh energi, kepedulian dan tak tergiur jamaknya urbanisasi, film ini merepresentasikan harapan bahwa perjuangan masyarakat Kendeng tidak akan berhenti hanya pada satu generasi. Film ini juga menunjukkan bahwa perlawanan politik yang digawangi anak muda kreatif tidak kalah bernasnya dengan perlawanan politik di jalur konvensional.”  [Evi Eliyanah – Dosen dan Peneliti di Bidang Kajian Gender dan Budaya Universitas Negeri Malang]

 

“Film Ibu Bumi yang mengangkat isu lingkungan menjadi  pemantik,  semangat,  dan referensi peraturan pemerintah untuk menghadapi permasalahan serupa yang dihadapi oleh masyarakat NTT saat ini. Saya sangat suka visual foto keluarga yang ditempel di gitar, terkesan ada relasi yang cukup dalam antara keluarga, kesukaan dan perjuangan.  Semoga hal ini bisa menjadi cermin  bagaimana seharusnya masyarakat NTT sadar bahwa ternyata ada perjuangan di luar sana yang tak sia-sia dan terus dilakukan demi kesejahteraan bersama.”  [Adriana Ajeng Ngailu – Mahasiswa Universitas Nusa Cendana dan Programmer Assistant “Jumat Di Garasi” Komunitas Film Kupang]

 

“Lewat musik yang jauh dari akar tradisinya, Bagus menyuarakan perlawanan atas keserakahan yang membayangi kesederhanaan, mengancam mereka yang merawat bumi dengan bijak. Visualnya bagus, alurnya mengalir.  Rekomendasi film untuk semua anak muda.”  [Dian Yuliastuti – Jurnalis Seni & Budaya Koran Tempo]

 

“Film Ibu Bumi memberikan gambaran ada banyak cara untuk ikut turun tangan menjaga kelestarian lingkungan, sebagian orang berdiskusi, sebagian orang turun ke jalan untuk berdemonstrasi, sebagian lainnya melakukan dari pentas ke pentas melalui jalur kesenian. Seperti cahaya lilin, semakin banyak yang menyala maka akan semakin terang, pada akhirnya yang terpenting adalah menjaga lilin – lilin itu tetap menyala untuk bumi yang lestari.”   [Kaka Prakasa – Redaksi Majalah Forest Digest]

 

“Film ini mengingatkan kita bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah kita sehari-hari. Tidak ada air bersih, polusi udara, kebisingan, para ibu rumah tangga selalu menghadapi persoalan seperti ini. Seperti Bagus yang mampu menyalurkan suaranya melalui musik, saya pun memikirkan bagaimana para ibu rumah tangga dapat menemukan cara unik mereka untuk bersuara.  [Duma Yanti Theresia – Ibu Rumah Tangga]

 

“Film dokumenter yang bagus tentang semangat anak muda yang mengkritik dengan karya! Salah satu film pendek dokumenter penting yang rilis tahun ini. WAJIB TONTON!”  [Rendro Aryo — Sutradara]

 

“Alur dalam film ini mengalir, sederhana tapi begitu mengena. Menggambarkan perenungan kegelisahan seorang anak muda terhadap masa depan kampung halamannya. Karakter utamanya, dengan keluguan alaminya berhasil mengetuk hati kita, berpikir tentang bumi dan sekitar kita.  [Eka Dalanta – Penulis dan Penggiat Literasi]

 

“Filmnya bikin merinding. Sejatinya musuh kita hari ini adalah senyatanya industrialisasi yang tidak berpihak kepada lingkungan. Industrialisasi yang terus menciptakan manusia menjadi robot-robot yang dikendalikan. Save Kendeng. Semoga para pejuang-pejuang Kendeng bersama berkahnya surat Al Fatihah.. Nuhun filmnya. Bagus dan indah.” [Huluful Fahmi – Ketua Cilegon Corporate Social Responsibility dan Pendiri Rumah Peradaban Banten]

 

“Film Ibu Bumi… Reflection.. It’s make me crying. Kesadaran akan lingkungan bukan sekadar membuang sampah pada tempatnya atau reuse, recycle, reduce.. tapi bagaimana perilaku kita terhadap alam itu sendiri. Kebijakan dan keberpihakan serta keadilan bagi kita dan alam semesta ciptaan-Nya. Alam dan dunia yang harus kita renungkan lagi.”  [Emy Handayani – Konsultan Arsitektur]

“Filmnya bikin merinding. Sejatinya musuh kita hari ini adalah senyatanya industrialisasi yang tidak berpihak kepada lingkungan. Industrialisasi yang terus menciptakan manusia menjadi robot-robot yang dikendalikan. Save Kendeng. Semoga para pejuang-pejuang Kendeng bersama berkahnya surat Al Fatihah.. Nuhun filmnya. Bagus dan indah.[Huluful Fahmi – Ketua Cilegon Corporate Social Responsibility dan Pendiri Rumah Peradaban Banten]

“Saya melihat film Ibu Bumi sebagai salah satu resistensi simbolik untuk melawan kapitalisme yang telah lama menubuh di Tanah Air. Film Ibu Bumi mendobrak ‘status quo’ dengan menyuguhkan pandangan lain akan konstruksi yang selama ini dibangun media arus utama yang lebih berpihak pada industri pertambangan. Itu yang saya suka dari film Ibu Bumi. Panjang umur, Para Petani! Kece filmnya!” [Bagja Wiranandhika Prawira – Aktivis Tuli dan Pendiri Typist Bergerak Indonesia]

 

“Sangat menggugah hati saat nonton film Ibu Bumi. Ketika jalur komunikasi terbungkam oleh pihak oknum berkepentingan, karya akan bersuara mewakili rakyat. Film ini berusaha untuk menunjukkan kepada kita bahwa fungsi karya seni adalah dulce et utile. Sama seperti sastra, karya seni tidak hanya untuk menghibur penikmatnya belaka tetapi juga menjadi fungsi kebermanfaatan yaitu suara rakyat ketika segala hal dibungkam. Sangat merekomendasikan semua untuk menonton film ini.”[Andhika Pratama – Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Indonesia]

 

Melalui sorot lensa kamera yg ‘terbang’ melintasi sungai dan pegunungan, kita disadarkan bahwa memori yg indah memang tidak bisa dimiliki tanpa tekadmereka yang mendambakan dan memperjuangkannya. Dengan model ‘éxpository’, dokumenter ini kompeten dalam menelusuri intrik di balik hikayat akan nilai terbaik dari kerja keras, komitmen dan keyakinan yang kuat untuk mempertahankan prinsip tersebut.  Diperkaya dengan selingan komentar dan argumen tentang ketidakadilan, perampasan hak dan inspirasi untuk melawan tanpa kekerasan, menjadikan tontonan ini bukan hanya memiliki relevansi dengan situasi sosio-ekonomi, tapi juga substansial untuk melakukan perubahan ke arah yg lebih baik. [B.Pradhana – Komunitas Seni, Bahasa & Budaya Oryzalokabasa] 

 

Ibu Bumi bikin darah mudaku bergelora!! Anak-anak muda Kendeng, keren banget! Mereka membuktikan bahwa betul adanya: banyak jalan menuju Roma. Panjang umur perjuangan!! Setiap kali menonton film perjuangan saudara sebangsa seperti ini, aku tuh jadi malu. Masih suka ngeluh sama hidupku yang jauh lebih nyaman dari mereka-mereka yang terus berjuang tanpa henti, untuk kepentingan esensial diri, kelompok, dan lingkungan. Jauh dari sikap egois dan individualistik masyarakat perkotaan seperti aku ini. Doaku agar kalian sehat selalu dan dimudahkan perjuangannya. [Indah Septy Elliyani – Penulis Skenario]

Tayang Perdana Secara Online – FILM IBU BUMI

Awalnya, film pendek dokumenter Ibu Bumi akan kami rilis pada April 2020. Namun karena masih terbatasnya ruang interaksi untuk melakukan kegiatan offline, maka Sedap Films bersama Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, memutuskan untuk merilis film ini secara online, pada Kamis, 25 Juli 2020, jam 14.00 WIB.

Kami mengajak masyarakat Indonesia, untuk melihat lebih dekat Pegunungan Kendeng, dari kacamata seorang petani muda lewat film Ibu Bumi (Mother Earth).

Acara ini gratis, berlaku untuk penonton usia 13+. Dialog dalam film menggunakan Bahasa Jawa dengan subtitle Bahasa Indonesia (Closed Caption). Untuk teman tuli, selama acara akan ditemani oleh juru bahasa isyarat Bisindo.

 

 

MARI MENDAFTAR DI 

WWW.IBUBUMI.COM

 

Terima kasih

 

“Festival Ini Cerita Kita” kembali lagi, Juli 2019!

 

UNDANGAN TERBUKA

Sedap Films mengundang teman-teman  untuk hadir dalam “Festival Ini Cerita Kita”, pada Jumat, 19 Juli 2019, pukul 14.00-19.00 WIB, di Goethe Haus, Menteng, Jakarta.

Akan ada diskusi mengenai disabilitas dan pemutaran film yang kami produksi.

DISKUSI

  1. Memahami Permasalahan Anak Muda Disabilitas dalam Dunia Kerja
  2. Hak dan Peluang Anak Muda Disabilitas di Dunia Kerja

FILM YANG DIPUTAR

1. “Toko Musik”, sutradara Harvan Agustriansyah (2018, fiksi, 13 menit).
2. “Rumah Siput”, sutradara ‘Ilun’ Chairun Nissa (2019, dokumenter, 19 menit).

Akan dimeriahkan juga dengan penampilan hip hop dari teman-teman sindroma down ‘Let’s Speak Up with G Star’.

Acara ini terbuka untuk umum. Namun karena tempatnya terbatas, mohon teman-teman melakukan

reservasi ke: 0898-9771-660 dengan format “nama_asal (institusi/organisasi)_alamat email_nomor hape”.

Terima kasih dan sampai jumpa 🙂

 

Salam hangat,

Chairun Nissa, Wini Angraeni, Sastha Sunu

 

Festival Ini Cerita Kita adalah bagian dari proyek inisiatif “Ini Cerita Kita” yang digagas Sedap Films bersama perkumpulan anak muda Pamflet dan komunitas anak muli tuli Gerkatin Kepemudaan. Tahun ini adalah penyelenggaraan yang kedua kali.

Tonton “Toko Musik” di Viddsee

 

Kini film pendek “Toko Musik” bisa diakses gratis di link berikut ini: https://www.viddsee.com/video/music-store/4jglw

Teman tuli tidak perlu khawatir, karena film ini dilengkapi dengan pilihan subteks (subtitle) Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

 

 

 

 

Tonton “Kok” di Viddsee.com

Mulai Oktober ini, film pendek kami “Kok ke Mana?” sudah bisa ditonton online di Viddsee. (klik link di bawah ini ya..)

 

Where is Kok? on Viddsee

 

 

 

Pemutaran ” Toko Musik”

Festival Bebas Batas

Screening & Discussion di Ruang Komunal Indonesia (RUKI) Facebook

Festival 100% Manusia 

Minggu, 16 September 2018 16:00 di Komunitas Salihara
Jumat, 19 September 2018 13:30 di @america

Lebih lengkap: http://100persenmanusia.com/music-store/

Festival Ini Cerita Kita

 “Pengalaman dalam Sunyi” (a quiet experience)

Jumat, 25 Mei 2018, jam 14.00, di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jl. Medan Merdeka Selatan, No.11, Gambir, Jakarta Pusat.

Roadshow ke Sekolah Luar Biasa & Komunitas Seni di Jakarta

April 2018:

  • SLBN 01 Jakarta Selatan
  • SLB Tuli Pangudi Luhur, Jakarta Barat
  • SLB Budi Daya, Jakarta Timur
  • SLBN 05 Jakarta Barat
  • Komunitas Trotoart, Jakarta Utara
  • Studio Sang Akar, Jakarta Selatan

Ini Cerita Kita (this is our story)

 

 


“Ini Cerita Kita” (ICK)

adalah sebuah inisiatif untuk mendorong anak-anak muda tuli untuk berani dan percaya diri menyuarakan berbagai hal tentang mereka dan dunianya. Proyek ini digagas Sedap Films bersama dengan perkumpulan anak muda Pamflet dan komunitas anak muda tuli Gerkatin Kepemudaan. Pendanaan proyek ini didukung oleh Voice.

Selama sembilan bulan berlangsung (Agustus 2017 – April 2018) proyek ini berisi empat kegiatan:

  1. Workshop vlog tuli, dengan peserta 20 anak muda tuli usia 16 – 30 tahun;
  2. Pembuatan website untuk Gerkatin Kepemudaan: http://www.gerkatinkepemudaan.org/
  3. Pembuatan film pendek (fiksi) tentang anak muda tuli berjudul “Toko Musik”;
  4. Roadshow ke sekolah luar biasa dan komunitas seni di Jakarta.

Di bulan kesepuluh (25 Mei 2018), sebagai bagian akhir dari program ICK kami mengadakan Festival Ini Cerita Kita, dengan tajuk “Pengalaman dalam Sunyi”, di Perpustakaan Nasional Indonesia, untuk memutar perdana kepada publik film “Toko Musik”, sekaligus untuk mengajak semua elemen masyarakat meneruskan semangat Ini Cerita Kita. Sebuah akhir yang menyenangkan, ketika melihat antusiasme para tamu yang hadir, yang dengar dan tuli, menyatu dalam sebuah ruangan yang sama, menonton film dan pertunjukan musik bersama. Namun ternyata ini bukanlah sebuah akhir, Voice kembali mendukung kolaborasi ini berlanjut dengan Ini Cerita Kita 2 yang akan kami mulai pada September 2018.